Sabtu, 05 Mei 2012

Judul????

oleh : Delvina Ginting
            Permasalahan adalah hal yang harus kita hadapi bukan untuk dihindari. Kata-kata ini memang tepat sekali dan sangat harus dipraktikkan. Kenapa? karena memang sudah begitu banyak masalah di dunia ini. Jika terus dihindari apa jadinya kehidupan ini.

Salah satu permasalahan yang patut kita sorot untuk dapat ditemukan solusinya yaitu permasalahan Disabilitas. Dari data yang saya temukan jumlah penyandang disabilitas di dunia terus meningkat. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa 10% dari penduduk dunia atau sekitar 650 juta orang adalah penyandang disabilitas atau lebih sering dikenal dengan istilah penyandang cacat. Data statistik dunia pun menunjukkan bahwa 80% dari penduduk dengan disabilitas tersebut berada di negara-negara sedang berkembang. Di Indonesia, yang merupakan salah satu negara sedang berkembang, jumlah penduduk dengan disabilitas diperkirakan sebanyak 23 juta orang (10% dari total jumlah penduduk hasil sensus 2010).
Tentu timbul pertanyaan dibenak kita masing-masing, apakah permasalahan utama dari hal ini?
Permasalahan utama dari hal ini bukanlah berasal dari mereka para penyandang disabilitas tersebut. Bisa saya pastikan tidak ada satupun dari mereka yang meminta atau menginginkan untuk memiliki disabilitas tertentu. Permasalahan yang paling mendasar adalah dikarenakan  masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang  apa disabilitas, siapa penyandang disabilitas, dan bagaimana mengahadapi penyandang disabilitas. Sehingga menimbulkan pandangan-pandangan masyarakat yang menyimpang dari koridor yang seharusnya.
Informasi-informasi yang masyarakat dapatkan tentang kehidupan para penyandang disabilitas, malah hanya membuat masyarakat sebatas mengkasihani, atau membuat suatu gerakan amal seperti menyedekahi. Fenomena bahkan menunjukkan begitu banyak para peminta-minta yang datang dari kalangan penyandang disabilitas sebagai modal untuk menstimulasi rasa kasihan para masyarakat sehingga mereka mendapatkan uang lebih untuk membiayai hidup mereka. suatu pandangan yang tidak sesuai bahkan begitu memprihatinkan.
Para penyandang disabilitas tidak butuh rasa kasihan, mereka butuh lebih dari itu. mereka butuh semangat hidup, mereka membutuhkan suatu kepercayaan diri, dan yang paling utama mereka sangat membutuhkan kesetaraan Hak Asasi Manusia (HAM). 

Qian Hongyan mengalami kecelakaan fatal yang mengakibatkan separuh tubuhnya hingga batas pinggang harus diamputasi.  Sebagai gantinya, keluarga tersebut menyangga tubuh Qian dengan potongan bola basket (masalah ekonomi). Ia mempunyai mimpi dapat mewakili China pada tahun 2012 pada kejuaraan renang di olimpiade khusus orang cacat.

di Indonesia ini banyak anak-anak penyandang disabilitas seperti Qian,  tetapi apa yang terjadi justru mereka lebih banyak dikaryakan oleh orang tuanya atau sebuah sindikat untuk dijadikan pengemis

Indonesia merupakan negara yang berpegang pada prinsip HAM non-diskriminasi, kesetaraan serta mendapatkan  kesempatan yang sama dan mengakui adanya keterbatasan yang dapat diatasi jika diupayakan aksesibilitas fisik dan non-fisik. Hal ini seharusnya dapat mengatasi kondisi yang dialami penyandang disabilitas di Indonesia. Namun pada faktanya para penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dalam beraktivitas dan masih mengalami keterbatasan dalam berpartisipasi sebagai warga yang setara dalam masyarakat, serta masih mendapatkan perlakuan diskriminasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di segala aspek dalam bidang kehidupan.
Salah satu contoh  bentuk diskriminasi yang terjadi adalah dibidang pendidikan. Masih banyak penyandang disabilitas di Indonesia yang tidak dapat menikmati bahkan merasakan dunia pendidikan. Karena keterbatasan yang mereka miliki membuat mereka dipandang tidak bisa memperoleh pencapaian layaknya “siswa normal”. Hambatan, keterbatasan serta diskriminasi yang  sering terjadi terhadap para penyandang disabilitas dalam mengakses informasi, pendidikan, pekerjaan, transportasi serta sarana dan layanan publik lainnya, yang membuat penyandang disabilitas di Indonesia pada umumnya termasuk dalam kelompok miskin dan terpinggirkan.
Lalu bagaimanakah solusi dari permasalahan ini?
Tak hanya pemerintah saja yang harus memikirkan hal ini, namun kita para generasi muda sudah selayaknya ikut memikirkan solusi dari permasalahan ini. Salah satu dari sekian banyak solusi adalah dengan membentuk masyarakat inklusif. Dimana masyarakat mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan keberbedaan serta mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun infra struktur yang ada di masyarakat. Adapun perbedaan dan keberagaman yang dimaksud diantaranya adalah keberagaman budaya, bahasa, gender, ras, suku bangsa, strata ekonomi, serta termasuk juga didalamnya adalah keberbedaan kemampuan fisik/mental.
Untuk membentuk suatu masyarakat yang inklusif, pertama-tama kita harus meluruskan pandangan masyarakat yang menyimpang dengan memberikan informasi-informasi berkaitan dengan disabilitas. Sehingga perlu dilakukan penyebaran informasi terkait disabilitas kepada masyarakat luas oleh berbagai pihak. Semoga saja permasalahan ini dapat sedikit demi sedikit teratasi. Sudah saatnya kita bangsa Indonesia bangkit dan menjadi suatu kesatuan dari keberagaman yang lebih baik lagi. Bhineka Tunggal Ika!! Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua!!



Kenali Minumanmu, Sayangi Tubuhmu


oleh : Tiara Aprilia
Minuman berkarbonasi atau yang lebih dikenal dengan softdrink merupakan minuman yang memiliki sensasi menyegarkan. Minuman ini sangat mudah ditemukan di supermarket, minimarket, restoran, maupun di toko-toko kecil dengan berbagai merk, diantaranya : Coca-Cola, Sprite, Fanta, 7up dan Big Cola. Minuman ini umumnya dinikmati oleh berbagai kalangan anak-anak sampai dengan orang dewasa. Di indonesia, negara yang memiliki iklim tropis, minuman ini dicari pada siang hari ketika rasa dahaga mereka memuncak. Bahkan saat ini softdrink banyak menjadi minuman favorit anak-anak setelah mereka makan, sehingga posisinya menggantikan air mineral yang sangat penting bagi tubuh.
            Air mengisi 60% dari tubuh kita , air berperan penting dalam proses metabolisme serta menujang kerja berbagai sistem organ dalam tubuh. Seseorang disarankan untuk meminum air minimal 1,5-2L setiap harinya agak homeostasis tubuhnya berjalan baik, sehingga kandungan air yang masuk ke dalam tubuh kita bersifat sangat penting untuk diperhatikan. Softdrink mengandung berbagai bahan kimia, yaitu :
1.      Air yang merupakan komponen utama softdrink.
2.      CO2 yang mengahsilkan rasa masam, “krenyes”, dan “menggelitik” di kerongkongan.
3.      Gula/pemanis buatan : sukrosa, HFCS ( High Fructose Corn Syrup), sakarin, ataupun siklamat.
4.      Kafein berkadar cukup tinggi sehingg tidak direkomendasikan bagi mereka yang hipertensi dan berpotensi serangan jantung.
5.      Zat pengawet, umumnya diawetkan dengan sodium benzoat yang aman sebagai bahan pangan namun memiliki batas maksimal.
6.      Zat pewarna yang alamiah dan sintetis : karamel, karmosin, dan tartrazin.
7.      Rasa buatan.
Kandungan kimianya yang paling berbahaya dari softdrink adalah kafein , zat pengawet, dan zat pewarna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa softdrink sangat berpotensi membahayakan bagi organ tubuh kita, diantaranya : membahayakan ginjal ketika posisi softdrink menggantikan air mineral sedangkan fungsinya tidak dapat tergantikan, meningkatkan resiko diabetes dikarenakan kadar gula yang tinggi ( jika terkena penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi penyakit lainnya ), meningkatkan resiko obesitas yang disebabkan oleh tingginya kalori pada softdrink, meningkatkan resiko osteoporosis dan kerusakan gigi, meningkatkan resiko kanker pankreas, serta meningkatkan ketergantungan pada kafein.
Sangat disarankan untuk merubah pola menghilangkan kebiasaan meminum softdrink ketika dahaga datang dan menggantinya dengan air mineral yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan kerja metabolisme tubuh dan merubah minuman favorit menjadi minuman yang menyehatkan bagi tubuh seperti susu sapi, susu kedelai, jus buah, teh hitam, teh hijau, ataupun yogurht. Dengan mengenali apa yang kita makan dan minum tentu kita akan lebih berhati-hati menjaga tubuh tetap prima agar siap menghadapi berbagai tantangan yang akan mengantarkan kita menggapai cita-cita.

Haruskah Ujian Nasional (UN) Dihapuskan?


oleh : Dias Prakatindih
Ujian Nasional (UN) bukanlah kata yang asing lagi dalam indera pendengaran kita. Ujian Nasional diadakan oleh pemerintah sebagai suatu wadah untuk meningkatkan mutu pendidikan, melakukan pemetaan, memperbaiki kinerja proses pembelajaran, serta meningkatkan persaingan antarsekolah. Standar kelulusan yang semakin meningkat setiap tahunnya diharapkan dapat memberikan motivasi agar para guru lebih meningkatkan kinerja mereka dan para siswa lebih termotivasi dalam belajar. Pada dasarnya, ujian nasional penting untuk diadakan, namun ada yang keliru dari cara serta standar yang digunakan untuk menilai keberhasilan seseorang. Dalam ujian nasional, keberhasilan seseorang hanya dilihat dari angka-angka dimana angka tersebut harus melewati standar yang telah ditetapkan. Cobalah anda telaah kembali, dapatkah keberhasilan seseorang diukur hanya dalam bentuk angka-angka?
Selain itu ternyata UN memberikan dampak psikologis tersendiri bagi para siswa. Dengan adanya UN mereka cenderung untuk belajar dibawah tekanan. Mereka tidak lagi menikmati indahnya proses belajar. Mereka menjadi terpaksa untuk mempelajari hal yang tidak mereka suka. Padahal proses pembelajaran yang seperti itu dapat membuat seseorang lebih sulit untuk memahami suatu pelajaran. Selain itu, ada pula yang menjadikan UN sebagai penentu kehidupan. Mengapa demikian? Karena ada beberapa orang yang memilih untuk mengakhiri hidupnya jika tidak lulus UN. Standar kelulusan yang semakin tinggi juga membuat semua pihak yang terkait semakin tertekan. Baik siswa, guru maupun orang tua menjadi sangat khawatir dengan dilaksanakannya UN. Selain dirasakan oleh para siswa, institusi-institusi pendidikan juga merasakan tekanan tersendiri, sekolah misalnya akan melakukan segala daya dan upaya untuk menyelamatkan nama baiknya. Karena masyarakat sendiri memiliki ukuran tertentu untuk menentukan sekolah itu bagus atau tidak. Sekolah dianggap bagus jika tingkat kelulusannya tinggi. Sehingga, semakin rendah tingkat kelulusan sebuah sekolah, berarti semakin turun kualitasnya di mata masyarakat. Menilik dari berbagai uraian diatas, sebenarnya ujian nasional memiliki sisi positif dan sisi negative. Namun, kemungkinan sisi negativenya lebih banyak dirasakan daripada sisi positifnya.
Setiap tahunnya keberadaan UN selalu memberikan kontroversial. Pemerintah dan juga BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan) sebagai penyelenggara sama sekali tidak menggubris protes dari berbagai kalangan mengenai kebijakan dalam ujian nasional. Mereka seolah tuli dan acuh terhadap kebijakan tersebut. Mereka justru kelihatan sangat bersemangat terhadap pelaksanaan UN ini meskipun sudah banyak korban yang berjatuhan. Bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah semakin bersemangat dalam menjalankan UN yaitu ketika Mendiknas mengeluarkan Permendiknas No. 34 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UN 2008. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya menguji tiga mata pelajaran, sekarang pemerintah menambah tiga lagi mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional 2008. Tidak hanya itu, angka rata-rata kelulusan minimal tahun inipun meningkat dari tahun sebelumnya. Seperti tertera dalam Pasal 15 Permendiknas No.34/2007, tahun ini untuk bisa lulus UN seorang siswa harus memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 dengan tidak ada satupun nilai mata ujian dibawah 4,25. Padahal Usaha pemerintah untuk tetap melaksanakan UN sebagai standar kelulusan secara tidak langsung melanggar prinsip-prinsip pendidikan, menyimpang dari amanat undang-undang yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
 Dalam Pasal 58 ayat 1 berbunyi “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan“. Cukup jelas bahwa yang berwenang melakukan evaluasi hasil pendidikan adalah pendidik. Pendidik lah yang secara keseluruhan dan secara berkesinambungan mengetahui proses belajar – mengajar.
UN juga memberikan dampak negative lainnya pada aspek-aspek tertentu yaitu :
  • Aspek Pendidikan

Dalam dunia pendidikan ternyata adanya UN ini memberikan pengaruh besar pada kinerja para guru. Para guru memang lebih terpacu dalam memberikan bahan ajar. Namun, pada kenyataannya bahan ajar yang akan diajarkan oleh para guru cenderung lebih mengajarkan siswa untuk langsung berhadapan dengan soal. Para guru tidak lagi mengacu pada kurikulum yang seharusnya diajarkan. Mereka lebih melatih para siswa agar dapat mengenali tipe-tipe soal yang dikeluarkan saat ujian nasional serta bagaimana caranya agar siwa dapat menjawab soal-soal tersebut dalam waktu yang singkat. Akibatnya para guru hanya mengajarkan hal-hal yang terkait dalam kompetensi SKL (Standar Kelulusan) dan melupakan kompetensi-kompetensi lain yang tidak dikeluarkan dalam UN. Padahal, kompetensi-kompetensi lainnya itu kemungkinan diperlukan oleh para siswa dalam menjalankan kehidupan sehari-hari setelah keluar dari ruang ujian nasional.
Dampak yang lebih jauh lagi adalah UN dapat mempersempit kurikulum sekolah dan menonjolkan mata pelajaran tertentu saja, karena selama ini UN hanya mengujikan mata pelajaran tertentu. Meskipun sudah ada penambahan mata pelajaran pada ujian nasional tetapi tetap tidak menutupi adanya mata pelajaran yang terdiskriminasi akibat adanya UN ini. Pada akhirnya guru yang mengajarkan mata pelajaran yang tidak diujikan cenderung kehilangan motivasi dalam proses kegiatan belajar mengajar. Pandangan seperti ini harus segera dirubah, karena pada proses nya nanti dalam kehidupan, untuk menjadi seseorang yang sukses tidak hanya orang yang memiliki nilai UN yang tinggi. Tetapi orang dengan multi skills-lah yang dapat sukses. Ada banyak cerita dari orang-orang yang sukses dalam bidang olahraga dan seni tetapi pada kenyataannya mereka tidak mendapatkan nilai matematika yang bagus. Jika demikian, mengapa UN tidak menambahkan pelajaran olahraga dan kesenian sebagai mata pelajaran UN?
  • Aspek Psikologis

Seperti yang sedikit telah diutarakan diatas, adanya UN membuat para guru, siswa dan orang tua menjadi harap-harap cemas (baca: merasa tertekan). Belum lagi para guru, siswa dan orang tua yang tinggal di pelosok-pelosok yang kesulitan dalam mengakses media pembelajaran jauh lebih merasa tertekan dibandingkan yang tinggal diperkotaan. Hal itu terjadi karena sistem UN yang dijalankan mengharuskan semua siswa untuk lulus dengan standar yang sama padahal pemerataan pendidikan belum tercapai. Akibat terburuk dari tingkat kecemasan yang semakin tinggi ini membuat para siswa mengambil jalur licik (baca: melakukan tindak kecurangan) agar mereka dapat lulus walaupun dengan standar terendah sekalipun. Hasilnya UN ini juga memberikan pengaruh moral yang buruk bagi generasi anak bangsa. Selain itu pengaruh moral yang buruk ini juga dapat nencoreng mutu pendidikan bangsa Indonesia yang sudah muram.

Melihat dampak yang begitu besar dari UN, sudah pernah dilakukan usaha protes sampai pada Mahkamah Agung. Hasilnya Mahkamah Agung (MA) melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN). MA menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan putusan ini, maka UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Berdasarkan informasi perkara di situs resmi MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono dkk tersebut diputuskan pada 14 September 2009 oleh majelis hakim yang terdiri atas Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said. Isinya sebagai berikut
Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).
Ini berarti putusan perkara dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008 itu sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah. Namun, pada saat itu pemerintah masih melaksanakan UN pada tahun 2008 dan 2009. Ini berarti pelaksanaan UN 2008, 2009 yang ‘memaksa’ kelulusan siswa ditentukan beberapa hari merupakan tindakan melanggar hukum. Dalam hal ini, Pemerintah dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN. Sayangnya, pemerintah masih menemukan jalan lain agar UN tetap dijalankan yaitu dengan melakukan PK (Peninjauan Kembali) atas gugatan yang telah dikeluarkan MA mengenai dilarangnya pelaksanaan UN.

Berdasarkan fakta yang telah diutarakan diatas ternyata, adanya UN di Indonesia lebih banyak memberikan dampak negative daripada dampak positifnya. Selain itu, pelaksanaan UN yang setiap tahunnya diadakan ternyata tidak memberikan kemajuan yang signifikan terhadap pendidikan Indonesia. Padahal, tujuan dari UN sendiri adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan, melakukan pemetaan, memperbaiki kinerja proses pembelajaran, serta meningkatkan persaingan antarsekolah. Sudahkah beberapa tujuan itu terealisasikan dan memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan pendidikan di Indonesia?
Dari uraian-uraian singkat mengenai UN diatas, seharusnya UN tidak dilaksanakan lagi di Indonesia. Seharusnya UN dihapus dari peraturan pemerintah dan diganti dengan wadah baru yang jauh lebih baik daripada UN saat ini. Wadah baru yang lebih banyak memberikan dampak positif daripada dampak negatifnya, serta wadah baru yang lebih memiliki kebijakan-kebijakan yang rasional dan pada proses pelaksanaannya tidak hanya memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu saja. Dan diharapkan wadah baru tersebut dapat memajukan pendidikan di Indonesia dan mampu merealisasikan tujuan-tujuan yang tidak dapat diwujudkan dari pelaksanaan UN saat ini.