oleh : Dias Prakatindih
Ujian
Nasional (UN) bukanlah kata yang asing lagi dalam indera pendengaran kita. Ujian
Nasional diadakan oleh pemerintah sebagai suatu wadah untuk meningkatkan mutu
pendidikan, melakukan pemetaan, memperbaiki kinerja proses pembelajaran, serta
meningkatkan persaingan antarsekolah. Standar kelulusan yang semakin meningkat
setiap tahunnya diharapkan dapat memberikan motivasi agar para guru lebih
meningkatkan kinerja mereka dan para siswa lebih termotivasi dalam belajar.
Pada dasarnya, ujian nasional penting untuk diadakan, namun ada yang keliru
dari cara serta standar yang digunakan untuk menilai keberhasilan seseorang.
Dalam ujian nasional, keberhasilan seseorang hanya dilihat dari angka-angka
dimana angka tersebut harus melewati standar yang telah ditetapkan. Cobalah
anda telaah kembali, dapatkah keberhasilan seseorang diukur hanya dalam bentuk
angka-angka?
Selain
itu ternyata UN memberikan dampak psikologis tersendiri bagi para siswa. Dengan
adanya UN mereka cenderung untuk belajar dibawah tekanan. Mereka tidak lagi
menikmati indahnya proses belajar. Mereka menjadi terpaksa untuk mempelajari
hal yang tidak mereka suka. Padahal proses pembelajaran yang seperti itu dapat
membuat seseorang lebih sulit untuk memahami suatu pelajaran. Selain itu, ada
pula yang menjadikan UN sebagai penentu kehidupan. Mengapa demikian? Karena ada
beberapa orang yang memilih untuk mengakhiri hidupnya jika tidak lulus UN. Standar
kelulusan yang semakin tinggi juga membuat semua pihak yang terkait semakin
tertekan. Baik siswa, guru maupun orang tua menjadi sangat khawatir dengan
dilaksanakannya UN. Selain dirasakan oleh para siswa, institusi-institusi
pendidikan juga merasakan tekanan tersendiri, sekolah misalnya akan melakukan
segala daya dan upaya untuk menyelamatkan nama baiknya. Karena masyarakat
sendiri memiliki ukuran tertentu untuk menentukan sekolah itu bagus atau tidak.
Sekolah dianggap bagus jika tingkat kelulusannya tinggi. Sehingga, semakin
rendah tingkat kelulusan sebuah sekolah, berarti semakin turun kualitasnya di
mata masyarakat. Menilik dari berbagai uraian diatas, sebenarnya ujian nasional
memiliki sisi positif dan sisi negative. Namun, kemungkinan sisi negativenya
lebih banyak dirasakan daripada sisi positifnya.
Setiap
tahunnya keberadaan UN selalu memberikan kontroversial. Pemerintah dan juga
BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan) sebagai penyelenggara sama sekali
tidak menggubris protes dari berbagai kalangan mengenai kebijakan dalam ujian
nasional. Mereka seolah tuli dan acuh terhadap kebijakan tersebut. Mereka
justru kelihatan sangat bersemangat terhadap pelaksanaan UN ini meskipun sudah
banyak korban yang berjatuhan. Bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah semakin
bersemangat dalam menjalankan UN yaitu ketika Mendiknas mengeluarkan
Permendiknas No. 34 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UN 2008. Berbeda dengan
tahun sebelumnya yang hanya menguji tiga mata pelajaran, sekarang pemerintah
menambah tiga lagi mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional 2008. Tidak
hanya itu, angka rata-rata kelulusan minimal tahun inipun meningkat dari tahun
sebelumnya. Seperti tertera dalam Pasal 15 Permendiknas No.34/2007, tahun ini
untuk bisa lulus UN seorang siswa harus memiliki nilai rata-rata minimal 5,25
dengan tidak ada satupun nilai mata ujian dibawah 4,25. Padahal Usaha
pemerintah untuk tetap melaksanakan UN sebagai standar kelulusan secara tidak
langsung melanggar prinsip-prinsip pendidikan, menyimpang dari amanat
undang-undang yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas).
Dalam Pasal 58 ayat 1 berbunyi “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan“. Cukup jelas bahwa yang berwenang melakukan evaluasi hasil pendidikan adalah pendidik. Pendidik lah yang secara keseluruhan dan secara berkesinambungan mengetahui proses belajar – mengajar.
Dalam Pasal 58 ayat 1 berbunyi “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan“. Cukup jelas bahwa yang berwenang melakukan evaluasi hasil pendidikan adalah pendidik. Pendidik lah yang secara keseluruhan dan secara berkesinambungan mengetahui proses belajar – mengajar.
UN
juga memberikan dampak negative lainnya pada aspek-aspek tertentu yaitu :
- Aspek Pendidikan
Dalam dunia pendidikan ternyata adanya UN ini
memberikan pengaruh besar pada kinerja para guru. Para guru memang lebih
terpacu dalam memberikan bahan ajar. Namun, pada kenyataannya bahan ajar yang
akan diajarkan oleh para guru cenderung lebih mengajarkan siswa untuk langsung
berhadapan dengan soal. Para guru tidak lagi mengacu pada kurikulum yang
seharusnya diajarkan. Mereka lebih melatih para siswa agar dapat mengenali
tipe-tipe soal yang dikeluarkan saat ujian nasional serta bagaimana caranya
agar siwa dapat menjawab soal-soal tersebut dalam waktu yang singkat. Akibatnya
para guru hanya mengajarkan hal-hal yang terkait dalam kompetensi SKL (Standar
Kelulusan) dan melupakan kompetensi-kompetensi lain yang tidak dikeluarkan
dalam UN. Padahal, kompetensi-kompetensi lainnya itu kemungkinan diperlukan
oleh para siswa dalam menjalankan kehidupan sehari-hari setelah keluar dari ruang
ujian nasional.
Dampak yang lebih jauh lagi adalah UN dapat
mempersempit kurikulum sekolah dan menonjolkan mata pelajaran tertentu saja,
karena selama ini UN hanya mengujikan mata pelajaran tertentu. Meskipun sudah
ada penambahan mata pelajaran pada ujian nasional tetapi tetap tidak menutupi
adanya mata pelajaran yang terdiskriminasi akibat adanya UN ini. Pada akhirnya
guru yang mengajarkan mata pelajaran yang tidak diujikan cenderung kehilangan
motivasi dalam proses kegiatan belajar mengajar. Pandangan seperti ini harus
segera dirubah, karena pada proses nya nanti dalam kehidupan, untuk menjadi seseorang
yang sukses tidak hanya orang yang memiliki nilai UN yang tinggi. Tetapi orang
dengan multi skills-lah yang dapat
sukses. Ada banyak cerita dari orang-orang yang sukses dalam bidang olahraga
dan seni tetapi pada kenyataannya mereka tidak mendapatkan nilai matematika
yang bagus. Jika demikian, mengapa UN tidak menambahkan pelajaran olahraga dan
kesenian sebagai mata pelajaran UN?
- Aspek Psikologis
Seperti
yang sedikit telah diutarakan diatas, adanya UN membuat para guru, siswa dan
orang tua menjadi harap-harap cemas (baca: merasa tertekan). Belum lagi para
guru, siswa dan orang tua yang tinggal di pelosok-pelosok yang kesulitan dalam
mengakses media pembelajaran jauh lebih merasa tertekan dibandingkan yang
tinggal diperkotaan. Hal itu terjadi karena sistem UN yang dijalankan
mengharuskan semua siswa untuk lulus dengan standar yang sama padahal
pemerataan pendidikan belum tercapai. Akibat terburuk dari tingkat kecemasan
yang semakin tinggi ini membuat para siswa mengambil jalur licik (baca: melakukan
tindak kecurangan) agar mereka dapat lulus walaupun dengan standar terendah
sekalipun. Hasilnya UN ini juga memberikan pengaruh moral yang buruk bagi
generasi anak bangsa. Selain itu pengaruh moral yang buruk ini juga dapat
nencoreng mutu pendidikan bangsa Indonesia yang sudah muram.
Melihat dampak yang begitu besar dari UN,
sudah pernah dilakukan usaha protes sampai pada Mahkamah Agung. Hasilnya
Mahkamah Agung (MA) melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN). MA
menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan
putusan ini, maka UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan
UN. Berdasarkan informasi perkara di situs resmi MA,
perkara gugatan warga negara (citizen
lawsuit) yang diajukan Kristiono dkk tersebut diputuskan pada 14 September
2009 oleh majelis hakim yang terdiri atas Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan
Abbas Said. Isinya sebagai berikut
Mahkamah Agung menolak permohonan
pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor : 2596
K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang
Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla;
Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo;
Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar
Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para
termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).
Ini berarti putusan perkara dengan
Nomor Register 2596 K/PDT/2008 itu sekaligus menguatkan putusan Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan
pemerintah. Namun, pada saat itu pemerintah masih melaksanakan UN pada tahun 2008
dan 2009. Ini berarti pelaksanaan UN 2008, 2009 yang ‘memaksa’ kelulusan siswa
ditentukan beberapa hari merupakan tindakan melanggar hukum. Dalam hal ini, Pemerintah
dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga
negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN. Sayangnya,
pemerintah masih menemukan jalan lain agar UN tetap dijalankan yaitu dengan
melakukan PK (Peninjauan Kembali) atas gugatan yang telah dikeluarkan MA
mengenai dilarangnya pelaksanaan UN.
Berdasarkan
fakta yang telah diutarakan diatas ternyata, adanya UN di Indonesia lebih
banyak memberikan dampak negative daripada dampak positifnya. Selain itu,
pelaksanaan UN yang setiap tahunnya diadakan ternyata tidak memberikan kemajuan
yang signifikan terhadap pendidikan Indonesia. Padahal, tujuan dari UN sendiri
adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan, melakukan pemetaan, memperbaiki
kinerja proses pembelajaran, serta meningkatkan persaingan antarsekolah.
Sudahkah beberapa tujuan itu terealisasikan dan memberikan pengaruh yang besar
bagi kemajuan pendidikan di Indonesia?
Dari
uraian-uraian singkat mengenai UN diatas, seharusnya UN tidak dilaksanakan lagi
di Indonesia. Seharusnya UN dihapus dari peraturan pemerintah dan diganti
dengan wadah baru yang jauh lebih baik daripada UN saat ini. Wadah baru yang
lebih banyak memberikan dampak positif daripada dampak negatifnya, serta wadah
baru yang lebih memiliki kebijakan-kebijakan yang rasional dan pada proses
pelaksanaannya tidak hanya memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu
saja. Dan diharapkan wadah baru tersebut dapat memajukan pendidikan di Indonesia dan
mampu merealisasikan tujuan-tujuan yang tidak dapat diwujudkan dari pelaksanaan
UN saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar