Oleh : Athirotin Halawiyah
Kehalalan suatu produk merupakan harga mati dari standar boleh
tidaknya suatu produk dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam Islam, segala aspek
peribadatan tidak akan diterima jika dalam darah seseorang mengalir zat-zat
haram dari produk haram, semisal berasal dari hasil curian, atau bahan baku
produknya tidak memenuhi aspek halal dan thayyib. Produk dalam hal ini, bukan saja
pangan tetapi juga obat-obatan, yang dewasa notabene sangat dibutuhkan berbagai
kalangan untuk tujuan medis. Tetapi pada faktanya, di Indonesia ketersediaan obat-obatan halal
masih sangat sedikit, jika tidak boleh dikatakan tidak ada. Berdasarkan data
dari Wikipedia, jumlah pemeluk Islam di Indonesia adalah 85,1 % dari total
keseluruhan penduduk Indonesia. Melihat
angka ini, umat Islam sebagai mayoritas, secara otomatis menjadi konsumen
terbesar obat-obatan di Indonesia. Adalah
sebuah ironi tersendiri jika tak ada jaminan kehalalan dari obat-obatan,
sehingga umat Islam terpaksa mengkonsumsi obat-obatan yang belum jelas halal
dan haramnya. Pemerintah sebagai regulator sudah seharusnya melindungi hak-hak
konsumen. Memang sudah ada undang-undang yang mengatur ini, yaitu UU No. 8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen, tetapi UU ini sama sekali tidak menyinggung
tentang kehalalan obat, khususnya labelisasi halal obat-obatan sebagai
satu-satunya cara untuk menentukan kehalalan suatu obat konsumen muslim. Pun
dengan undang-undang lain, belumlah ada yang menyinggung masalah labelisasi
halal obat-obatan.
Menurut Nur Wahid, kepala bagian administrasi dan pembinaan LPPOM
MUI daerah ketika ditemui penulis pada 3 Mei 2012, dibandingkan dengan animo
produsen pangan, animo produsen obat-obatan untuk mendaftarkan produknya agar
memperoleh sertifikat halal masih sangat rendah, jauh di bawah animo produsen
pangan meski pihak LPPOM MUI sudah gembar-gembor mensosiaolisasikannya.
Seminar, workshop, maupun penyuluhan ke perusahaan-perusahaan dan kegiatan lain
yang bersifat promotif sudah dilaksanakan, tetapi kegiatan-kegiatan ini tak
banyak mengubah keadaan. Lalu, sebenarnya siapa atau apa yang harusnya menjadi
stakeholder dari masalah labelisasi obat halal?
PEMERINTAH SEBAGAI REGULATOR
Kata government dalam bahasa Inggris, merupakan serapan dari
kata bahasa latin gubernaculum yang berarti kemudi. Menurut Montesquieu,
seorang pemikir politik asal Prancis, pemerintah dalam arti luas meliputi
pembuat undang-undang (la-puissance legistative) dan penegak
pengadilan (la-puissance de juger). Begitu juga dengan Van Vollenhoven
yang mendefinisikan pemerintah sebagai regel geven, pembuat
peraturan. Peraturan yang dibuat, tentunya bertujuan agar terbentuk suatu
kondisi yang kondusif untuk menjamin berlangsungnya segala aktifitas rakyat
berkaitan dengan pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban rakyat secara
menyeluruh dengan aman dan tentram. Termasuk, mengacu pada penjabaran di atas,
adalah pemenuhan hak konsumen muslim di Indonesia untuk mendapatkan obat-obatan
halal.
Berkaca pada fakta yang sudah dijelaskan di awal, dapat dianalisis
bahwa kendala dari pelaksanaan labelisasi halal obat-obatan adalah tidak adanya
peraturan atau undang-undang yang secara khusus mengatur labelisasi halal
obat-obatan. Sehingga, meskipun ada himbauan untuk melakukan sertifikasi halal
sebuah produk, pun LPPOM MUI sebagai lembaga resmi pelaksana sertifikasi halal
sudah melaksanakan berbagai kegiatan bersifat promotif, ibarat suara, semua itu
masih kurang gaungnya, jika tak ada
peraturan resmi dan mengikat yang mengaturnya. Berbeda jika ada peraturan atau
undang-undang yang mengatur hal ini secara spesifik, mau tidak mau produsen
obat-obatan akan mendaftarkan produknya untuk memperoleh sertifikat halal,
karena jika tidak, sanksi dan punishment siap menghadang produsen obat-obatan yang
tidak taat hukum ini.
RUU JAMINAN PRODUK HALAL, IMPLEMENTASI PERAN PEMERINTAH SEBAGAI
REGULATOR
Bak angin segar, ketika sebuah RUU tentang jaminan produk halal
yang sempat mengalami deadlock sejak tahun 2004 kembali dibahas. Dengan adanya
itikad baik pemerintah melalui DPR untuk membahas RUU Jaminan Produk Halal, sebuah
harapan baru telah muncul bagi umat Islam Indonesia. Dalam draft sementara RUU
ini, disebutkan bahwa tiap produsen produk makanan, kosmetik dan obat-obatan
harus melakukan sertifikasi halal. Disetujuinya UU ini kelak, akan menjamin
umat Islam selaku konsumen terbesar negeri ini mendapatkan produk-produk yang
halal, thayyib dan aman. RUU ini merupakan implementasi dari peran pemerintah
sebagai regulator. Selain itu, RUU ini juga mencerminkan tanggung jawab dari
pemerintah untuk melindungi rakyatnya, dalam hal ini umat Islam. Meskipun
begitu, RUU Jaminan Produk Halal ini hendaknya bersifat universal, dalam artian
bukan hanya umat Islam saja yang merasakan manfaat dan kebaikan dari adanya
jaminan halal produk, tetapi juga masyarakat luas karena makna halal dapat
diterapkan untuk semua golongan. Terbukti beberapa negara sudah memberlakukan
kebijakan sertifikasi halal makanan meskipun umat Islam bukanlah mayoritas di
negara tersebut. Contoh dari beberapa negara ini adalah Jerman, Swiss dan
Austria. Harapan ke depan, semoga sertifikasi halal ini merambah pada
obat-obatan juga, mengingat cukup banyak obat-obatan Indonesia yang bahan
bakunya mengimpor dari negara-negara Eropa.
Akhir catatan, kita sebagai umat Islam wajib mendukung
ditetapkannya RUU Jaminan Produk Halal ini menjadi undang-undang. Akan menjadi
sebuah pencapaian besar umat Islam Indonesia dalam memperjuangkan haknya, jika
RUU ini akhirnya ditetapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar