Selasa, 05 Juni 2012

RUU JAMINAN PRODUK HALAL: ANGIN SEGAR UNTUK LABELISASI HALAL OBAT-OBATAN


Oleh : Athirotin Halawiyah
 
            Kehalalan suatu produk merupakan harga mati dari standar boleh tidaknya suatu produk dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam Islam, segala aspek peribadatan tidak akan diterima jika dalam darah seseorang mengalir zat-zat haram dari produk haram, semisal berasal dari hasil curian, atau bahan baku produknya tidak memenuhi aspek halal dan thayyib. Produk dalam hal ini, bukan saja pangan tetapi juga obat-obatan, yang dewasa notabene sangat dibutuhkan berbagai kalangan untuk tujuan medis. Tetapi pada faktanya,  di Indonesia ketersediaan obat-obatan halal masih sangat sedikit, jika tidak boleh dikatakan tidak ada. Berdasarkan data dari Wikipedia, jumlah pemeluk Islam di Indonesia adalah 85,1 % dari total keseluruhan penduduk Indonesia.  Melihat angka ini, umat Islam sebagai mayoritas, secara otomatis menjadi konsumen terbesar obat-obatan di Indonesia.  Adalah sebuah ironi tersendiri jika tak ada jaminan kehalalan dari obat-obatan, sehingga umat Islam terpaksa mengkonsumsi obat-obatan yang belum jelas halal dan haramnya. Pemerintah sebagai regulator sudah seharusnya melindungi hak-hak konsumen. Memang sudah ada undang-undang yang mengatur ini, yaitu UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, tetapi UU ini sama sekali tidak menyinggung tentang kehalalan obat, khususnya labelisasi halal obat-obatan sebagai satu-satunya cara untuk menentukan kehalalan suatu obat konsumen muslim. Pun dengan undang-undang lain, belumlah ada yang menyinggung masalah labelisasi halal obat-obatan.
Menurut Nur Wahid, kepala bagian administrasi dan pembinaan LPPOM MUI daerah ketika ditemui penulis pada 3 Mei 2012, dibandingkan dengan animo produsen pangan, animo produsen obat-obatan untuk mendaftarkan produknya agar memperoleh sertifikat halal masih sangat rendah, jauh di bawah animo produsen pangan meski pihak LPPOM MUI sudah gembar-gembor mensosiaolisasikannya. Seminar, workshop, maupun penyuluhan ke perusahaan-perusahaan dan kegiatan lain yang bersifat promotif sudah dilaksanakan, tetapi kegiatan-kegiatan ini tak banyak mengubah keadaan. Lalu, sebenarnya siapa atau apa yang harusnya menjadi stakeholder dari masalah labelisasi obat halal?

PEMERINTAH SEBAGAI REGULATOR
Kata government dalam bahasa Inggris, merupakan serapan dari kata bahasa latin gubernaculum yang berarti kemudi. Menurut Montesquieu, seorang pemikir politik asal Prancis, pemerintah dalam arti luas meliputi pembuat undang-undang (la-puissance legistative) dan penegak pengadilan (la-puissance de juger). Begitu juga dengan Van Vollenhoven yang mendefinisikan pemerintah sebagai regel geven, pembuat peraturan. Peraturan yang dibuat, tentunya bertujuan agar terbentuk suatu kondisi yang kondusif untuk menjamin berlangsungnya segala aktifitas rakyat berkaitan dengan pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban rakyat secara menyeluruh dengan aman dan tentram. Termasuk, mengacu pada penjabaran di atas, adalah pemenuhan hak konsumen muslim di Indonesia untuk mendapatkan obat-obatan halal.

Budaya Membutuhkan Hak Paten


 Oleh : Gina Kholisoh
Indonesia merupakan negara kesatuan  yang multikulturalisme dan majemuk. Kemajemukan Indonesia dapat dilihat dari beragam agama, etnis, budaya, bahasa, dan suku bangsa  yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Hal itu menjadi nilai yang khas bagi bangsa Indonesia yang membedakannya dari bangsa-bangsa yang lainnya. Keanekaragaman dan kemajemukan yang ada di indonesia,ditetapkan sebagai salah satu identitas Nasional  Indonesia. Meskipun berbeda-beda, namun kemajemukan itu  tidak memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal itu tercermin dari slogan pada lambang negara Indonesia ”Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda namun tetap satu jua. Karakter masyarakat multikulturalisme yang toleran, juga menjadi salah satu pendukung keselarasan hidup bersama dalam keanekaragaman.
Kebanggaaan akan kekayaan budaya  dan etnis  negara indonesia, bukan hanya ditunjukkan dalam bentuk pagelaran dan pameran seni semata. Namun, juga harus diiringi dengan  kecermatan kita, apakah  seni dan budaya yang telah ada dimasyarakat dilindungi dan disahkan menjadi milik Indonesia. Kita menyadari bahwa  budaya dan seni suatu negara adalah hasil kerja keras dan warisan bangsa, yang menjadi ciri khas tersendiri bagi bangsa tersebut. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya pengambilan hak milik dan pengakuan dari negara lain. Karena peraturan dunia menyatakan bahwa setiap budaya dan seni yang ada di suatu negara, harus memiliki hak paten. Agar budaya tersebut tidak direbut dan diakui secara sepihak oleh negara lain, serta  hak paten tersebut menjadi bukti nyata bahwa budaya tersebut milik negara aslinya.
Sayangnya  negara Indonesia tidak secerdik dan secermat negara lainnya. Masih teringat di benak kita tentang pengakuan beberapa negara lain akan budaya kita. Salah satunya  Malaysia yang mengakui  batik adalah salah satu aset budaya negara tersebut. Ketika berita tersebut terdengar, negara kita belum bisa menunjukkan hak paten kepemilikan batik kepada publik. Walaupun hampir seluruh negara di dunia tahu bahwa batik adalah salah satu hasil seni negara Indonesia. Dan masih banyak lagi kasus pengakuan hak paten dan kepemilikan budaya Indonesia oleh negara lainnya.

POLEMIK KEAGRARISAN INDONESIA DALAM KEMISKINAN

Oleh : Vuzia Harrakie
 Sebagai negara agraris , Indonesia memiliki peran dalam kekayaannya.  Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Yang terbentang antara 6° garis LU  - 11° LS dan dari 97° - 141° BT. Serta memiliki luas daratan sekitar 192.257.000 ha. Ironisnya, kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara Indonesia bertolak belakang dengan keadaan sosial dan banyaknya permasalahan yang sedang dialami oleh negara Indonesia. Salah satunya adalah kebutuhan pangan beras penduduk Indonesia.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa beras merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia. Lebih dari 95% penduduk Indonesia mengkonsumsi beras, karena hampir setengah dari luas daratan Indonesia adalah sawah. Tetapi apa yang menjadi permasalahannya?

Dalam berbagai aspek, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha yang mencanangkan kesejahteraan rakyat Indonesia termasuk dari segi pangan. Kebutuhan pangan setiap tahunnya meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk indonesia. Sehingga pemerintah tidak hanya mengandalkan  produksi pangan dalam negeri saja tetapi melakukan impor beras demi terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat Indonesia serta tidak adanya rakyat yang kekurangan.  Bagaimana dengan fakta yang terjadi saat ini ?
                                      
Dalam beberapa tahun terakhir ini, laju peningkatan produksi pangan cenderung mengalami kenaikan. Dari data yang didapat, Indonesia mengalami peningkatan jumlah produksi yang cukup signifikan. Berikut adalah tabel data produksi pangan beras setiap tahunnya

NO
TAHUN
PRODUKSI (KILOTON)
1
2005
34,120
2
2006
34,600
3
2007
36,970
4
2008
40,34
5
2009
40,656
6
2010
42,43
7
2011
41,32
Sumber : BPS dan The Rice Report